
"Political re-branding bisa diarahkan, selain untuk memperluas pangsa pasar politik, khususnya milenial, juga untuk mendiferensiasikan positioning dia secara kontras dengan Jokowi-Ma'ruf Amin," kata Nyarwi saat berbincang dengan detikcom, Kamis (23/8/2018).
Re-branding yang kurang pas, Nyarwi melanjutkan, bisa menyebabkan pemilih lama berkurang. Padahal belum tentu pemilih milenial yang ditarget bertambah. "Jika itu yang terjadi, jelas kontraproduktif," papar dia.
Namun, kata Nyarwi, jika Prabowo dan tim bisa melakukan re-branding dengan mempertahankan pemilih lama dan memperluas basis dukungan dari kalangan milenial, elektabilitasnya bisa naik.
"Bukan tidak mungkin elektabilitasnya terus meningkat, bahkan bisa menjadi pemenang Pilpres 2019," kata Nyarwi, yang juga Direktur Presidential Studies-DECODE UGM.
Elektabilitas Prabowo Subianto di sejumlah lembaga survei kalah oleh Joko Widodo. Terbaru adalah survei yang dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia pimpinan Denny Januar Ali. Survei digelar pada 12-19 Agustus 2018 menggunakan metode multistage random sampling.
Wawancara dilakukan secara tatap muka dengan 1.200 responden, dilengkapi focus group discussion dan wawancara mendalam. Hasil survei menunjukkan elektabilitas pasangan Jokowi-Ma'ruf 52,2 persen, unggul atas Prabowo-Sandi yang mendapat 29,5 persen. Ada sekitar 18,3 persen responden yang belum memutuskan atau merahasiakan pilihannya.
Terkait re-branding Prabowo Subianto ini pertama kali diungkapkan oleh calon wakil presiden Sandiaga Salahuddin Uno. Menurut Sandi, Didit Hediprasetyo, putra Prabowo Subianto, menyarankan agar sang ayah lebih luwes dan lentur dalam berpakaian. Prabowo diminta tak hanya sering mengenakan kemeja putih berkantong empat. Sandi menyebutnya The New Prabowo.
(erd/jat)
No comments:
Post a Comment